Al Faqir Al Jatihadi

Al Faqir Al Jatihadi
Menulis : Bekerja Untuk Keabadian || Ruhku mungkin akan berpisah dengan jasad. Namun, tulisanku akan tetap bersamamu jika kau mau.

Jumat, 15 Februari 2019

Mandi Yang Disunahkan Dalam Kitab Tausyeh (TA Madrosah Diniyyah Salafiyyah Al Asror 2019) || 1 - 9



  
TUGAS AKHIR
TINGKAT WUSTHO
Terjemah Kitab

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan
Madrasah Diniyah Salafiyah Al Asror

Oleh:
NAMA                 : SUNARLAN
PEMBIMBING   : USTADZ TSABIT GHUFRON


MADRASAH DINIYAH SALAFIYAH AL ASROR
PONDOK PESANTREN ASSALAFY PUTRA PUTRI AL ASROR
TAHUN DIROSAH 2018/2019




PEMANTIK HIMMAH AL-ALIYYAH
“….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah: 11)
“Jika kamu tidak tahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.” (Imam Syafi’i)
“Kau tidak akan mendapatkan ilmu tanpa kesusahan.” (Syeikh Syarofuddin Yahya al­­­-‘Imrithi)
“Yang penting NGAJI !!! Walaupun anaknya seorang tukang ngarit tapi mau ngaji, ya akan pinter. Anaknya orang alim tidak mau ngaji, ya tidak akan pinter.” (KH. Abdul Karim)
“Orang yang mempunyai ilmu sambil diriyadhohi dengan yang tidak diriyadhoi itu hasilnya beda. Riyadhoh yang paling utama adalah ISTIQOMAH.” (KH Mahrus Ali)
“Ndhidhik santri lirkadya kaya dene gawe martabak utawa kue bandung, sing diproses awale dadi adonan sing diemplek-emplek, banjur dibanting-banting, digoreng ning minyak panas, lan akhire bias dinikmati wong akeh. Santri supaya ilmune manfa’ah kudu tahan banting.” (Murobbi ruuh, Abah KH Almamnuhin Kholid)
“Nalika sampeyan mondok kok rekasa, insya Allah mbesuk bakal mulya.” (Murobbi ruuh, Abah KH Almamnuhin Kholid)
“Saking getolnya membaca kitab, peningal Yai Zubaedi hingga mengeluarkan darah….” (K. Idris Imron)
“Ilmu harus dikonsensuskan.” (KH Baha’uddin Nur Salim)





بسم الله الرحمن الرحيم

(فَصْلٌ) فِي بَيَانِ جُمْلَةٍ مِنَ الْاَغْسَالِ الْمَسْنُوْنَةِ (وَالْاِغْتِسَالاَتُ الْمَسْنُوْنَةُ سَبْعَةَ عَشَرَ غُسْلاً) اَلْاَوَّلُ (غُسْلُ الْجُمُعَةِ لِحَاضِرِهَا) اَيْ لِمُرِيْدِ حُضُوْرِهَا وَاِنْ لَمْ تَلْزَمْهُ لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم "مَنْ اِغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُفِرَ لَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ اِلَى الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةِ ثَلَاثَةِ اَيَّامٍ" وَلِدَفْعِ الرِّيْحِ الْكَرِيْهِ مِنَ الْحَاضِرِيْنَ وَقُدِّمَ غُسْلُهَا عَلَى غَيْرِهِ لِاَنَّ الْاِمَامَ اَبَا حَنِيْفَةَ قَالَ بِوُجُوْبِهِ

Pasal yang menjelaskan mandi-mandi yang disunnahkan.

Mandi-mandi yang disunnahkan ada tujuh belas. Pertama adalah mandi Jumat, bagi orang yang hendak menghadiri shalat Jumat, meskipun shalat Jumat tidak wajib baginya. Kesunnahan mandi Jumat didasarkan pada hadits “Barang siapa yang melakukan mandi hari Jumat, maka diampuni dosanya dari hari Jumat tersebut hingga Jumat selanjutnya ditambah tiga hari”. Kesunnahan ini juga dikarenakan tujuan menghilangkan bau yang tidak sedap dari orang yang menghadiri shalat Jumat. Mandi jumat didahulukan dari mandi yang lain karena Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mandi Jumat hukumnya wajib[1].


 (وَوَقْتُهُ) اَيْ اِبْتِدَاءُ وَقْتِهِ (مِنَ الْفَجْرِ الصَّادِقِ) عِنْدَنَا وَعِنْدَ اَبِى حَنِيْفَةَ وَاَحْمَدَ وَقَالَ مَالِكُ لَا يَصِحُّ الْغُسْلُ اِلَّا عِنْدَ الرَّوَاحِ اِلَيْهَا وَاَخِرُهُ يَنْتَهِى بِفَرَاغِ صَلَاتِهَا بِسَلَامِ الْاِمَامِ وَلَا يُبْطِلُ طُرُوُّ حَدَثٍ وَلَوْ اَكْبَرَ وَلَا تُسَنُّ اِعَادَتُهُ عِنْدَ طُرُوِّ مَا ذُكِرَ

Waktu awal melaksanakan mandi Jumat dimulai semenjak fajar shodiq –menurut Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad. Imam Malik berpendapat bahwa mandi Jumat tidak sah  dilakukan kecuali ketika hendak berangkat untuk melaksanakan shalat Jumat. Akhir waktu kesunnahan mandi Jumat adalah ketika selesainya shalat yang ditandai dengan salamnya imam. Mandi Jumat tidak batal sebab hadats yang baru datang, meskipun hadats besar. Tidak disunnahkan mengulangi mandi Jumat tatkala datangnya hadats tersebut.

 

 (وَ) الثَانِى وَالثَّالِثُ (غُسْلُ) يَوْمَيِ (الْعِيْدَيْنِ الْفِطْرِ وَالْاَضْحَى) وَلَوْ لِحَائِضٍ وَنُفَسَاءَ وَاِنْ لَمْ يُرِيْدَا الْحُضُوْرَ لِاَنَّ الزِّيْنَةَ هُنَا مَطْلُوْبَةٌ لِكُلِّ اَحَدٍ وَهُوَ مِنْ جُمْلَتِهَا

Mandi yang disunnahkan kedua dan ketiga adalah mandi hari raya Idul Fitri dan Idul Adhha. Kesunnahan ini berlaku juga bagi wanita yang sedang haid dan wanita yang tengah menyandang nifas, meskipun mereka tidak hendak menghadiri shalat. Hal yang menjadi alasan kesunnahan adalah sesungguhnya berhias pada kedua hari ini dianjurkan untuk setiap orang[2], dan mandi termasuk salah satunya.

 

 (وَيَدْخُلُ وَقْتُ هَذَا الْغُسْلِ بِنِصْفِ اللَّيْلِ) وَالْاَفْضَلُ فِعْلُهُ بَعْدَ الْفَجْرِ وَيَخْرُجُ وَقْتُهُ بِغُرُوْبِ شَمْسٍ يَوْمَ الْعِيْدِ لِاَنَّهُ مَنْسُوْبٌ لِلْيَوْمِ

Waktu mandi ini dimulai setelah tengah malam. Yang lebih utama adalah melakukan mandi setelah fajar. Kesunnahan mandi hari raya berakhir sebab tenggelamnya matahari pada saat hari raya, karena mandi ini dinisbatkan kepada harinya.

 

(وَ) الرَّابِعُ غُسْلٌ لِصَلَاةِ (الْاِسْتِسْقَاءِ اَىْ طَلَبِ السُّقْيَا مِنَ اللهِ تَعَالَى) وَيَدْخُلُ وَقْتُهُ لِمَنْ يُرِيْدُ الصَّلَاةَ مُنْفَرِدًا بِاِرَادَةِ الصَّلَاةِ وَلِمَنْ يُرِيْدُهَا جَمَاعَةً بِاِرَادَةِ الْاِجْتِمَاعِ مَعَ النَّاسِ لَهَا وَيَخْرُجُ الْوَقْتُ بِفِرَاغِ فِعْلِهَا

Mandi yang disunnahkan yang keempat adalah mandi untuk melakukan shalat istisqo’ (memohon hujan dari Allah SWT). Permulaan waktu mandi ini bagi orang yang hendak shalat secara munfarid adalak ketika hendak shalat. Sedangkan bagi orang yang hendak melakukan shalat secara jamaah kesunnahan mandi ini ketika hendak berkumpul bersama jamaah untuk melaksanakan shalat. Waktu kesunnahan mandi berakhir dengan selesainya pelaksanaan shalat istisqo’.

 

(وَ) الْخَامِسُ غُسْلٌ لِصَلَاةِ (الْخُسُوْفِ لِلْقَمَرِ وَ) السَّادِسُ غُسْلٌ لِصَلَاةِ (الْكُسُوْفِ لِلشَّمْسِ) لِاجْتِمَاعِ النَّاسِ لَهُمَا وَيَدْخُلُ وَقْتُ الْغُسْلِ لَهُمَا بِاَوَّلِهِمَا لِاَنَّ هَذَا الْغُسْلَ يُخَافُ فُوْتُهُ وَيَخْرُجُ بِاِنْخِلَاءِ جَمِيْعِ الْقَمَرِ وَالشَّمْسِ

Mandi yang disunnahkan yang kelima adalah mandi ketika hendak shalat gerhana bulan (Khusuf) dan yang keenam adalah mandi ketika hendak shalat gerhana matahari (Kusuf) karena berkumpulnya jamaah untuk melaksanakan shalat tersebut. Awal waktu kesunnahan kedua mandi ini adalah awal gerhana terjadi. Alasan mandi ini disunnahkan di awal gerhana karena mandi ini dikhawatirkan ditinggalkan karena habisnya waktu gerhana. Waktu mandi berakhir sebab terbukanya kembali seluruh bagian bulan dan matahari.

 

 (وَ) السَّابِعُ (الْغُسْلُ مِنْ اَجْلِ غُسْلِ الْمَيِّتِ مُسْلِمًا كَانَ اَوْ كَافِرًا) سَوَاءٌ كَانَ الْمُغْسِلُ طَاهِرًا اَوْ حَائِضًا لِقَوْلِهِ صلى الله عليه و سلم "مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ" رَوَاهُ التِرْمِذِى وَ يَدْخُلُ وَقْتُهُ بِالْفِرَاغ ِمِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ وَ يَخْرُجُ بِالْاِعْرَاضِ عَنْهُ وَلَوْ يَمَّمَ الْمَيِّتَ لِلْعَجْزِ عَنْ غُسْلِهِ سُنَّ الْغُسْلُ اِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ وَاِلَّا فَالتَّيَمُّمُ

Mandi yang disunnahkan yang ketujuh adalah mandi yang dilakukan orang yang telah selesai memandikan jenazah, baik muslim maupun kafir. Kesunnahan ini berlaku bagi orang yang memandikan baik dia suci maupun dalam keadaan haid. Hal ini ditegaskan dalam suatu hadits “Barang siapa memandikan mayyit maka hendaklah mandi dan barang siapa yang memikul mayyit maka hendaklah berwudhu[3]” HR Imam Tirmidzi. Waktunya mandi ini adalah dari selasainya memandikan mayit, sampai ketika orang tersebut berpaling (i’rodh) dari memandikan mayyit. Dan ketika mayit itu ditayamumkan sebab adanya suatu halangan untuk memandikan maka disunahkan bagi orang yang menayamumkan untuk mandi apabila ia mampu untuk mandi, namun apabila tidak mampu maka disunnahkan tayamum saja.

 

 (وَ) الثَّامِنُ (غُسْلُ) الشَّخْصِ  (الْكَافِرِ) ذَكَرًا كَانَ اَوْ اُنْثَى وَلَوْ مُرْتَدًا (اِذَا أَسْلَمَ) اَيْ بَعْدَ اِسْلَامِهِ تَعْظِيْمًا لِلْاِسْلَامِ وَلِأَمْرِهِ صلى الله عليه وسلم قَيْسَ بْنَ عَاصِمَ بِالْغُسْلِ لَمَّا أَسْلَمَ وَكَذَلِكَ ثَمَامَةُ بْنُ أَثَالَ رَوَاهُمَا ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَانَ وَغَيْرُهُمَا وَلَيْسَ اَمْرَ وُجُوْبٍ لِاَنَّ جَمَاعَةً أَسْلَمُوا فَلَمْ يَأْمُرْهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالْغُسْلِ

Bagian kedelapan dari mandi yang disunnahkan adalah mandinya seorang kafir ketika masuk Islam,   baik laki-laki maupun perempuan, meskipun murtad. Adanya kesunnahan mandi ini berlaku setelah islamnya orang kafir sebagai wujud penghormatan kepada agama Islam. Dalilnya adalah perintah Rasulullah SAW kepada shahabat Qois bin ‘Asim untuk mandi setelah dia masuk Islam[4]. Begitupun juga sahabat Tsamanah bin Atsal yang diperintahkan mandi ketika masuk Islam (hadis ini diriwayatkan Ibnu Khuzaemah dan Ibnu Hiban dan periwayat lainnya). Perintah ini bukan perintah yang wajib karena adanya jamaah yang masuk Islam dan Rasulullah SAW tidak menyuruh mereka untuk mandi.

 

وَيُسَنُّ غُسْلَهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاِزَالَةُ شَعْرِهِ قَبْلَ الْغُسْلِ اِنْ لَمْ يُحْدِثْ فِى كُفْرِهِ حَدَثًا اَكْبَرَ وَلَوْ أُنْثَى وَاِلَّا فَبَعْدَهُ لَا نَحْوِ لِحْيَةِ رَجُلٍ فَاِنَّهُ لَا يُسَنُّ اِزَالَتُهُ وَيَنْوِى هُنَا سَبَبَ الْغُسْلِ كَسَائِرِ الْأَغْسَالِ اِلَى غُسْلِ الْمَجْنُوْنِ وَالْمُغْمَى عَلَيْهِ اِذَا اَفَاقَا فَاِنَّهُمَا يَنْوِيَانِ بِالْغُسْلِ رَفْعَ الْجَنَابَةِ

Dalam proses mandi ini, disunnahkan menggunakan air dan daun bidara serta mengilangkan rambut bagi orang kafir sebelum mandi apabila semasa kafir tidak berhadats besar, meskipun bagi perempuan. Apabila berhadats besar semasa kafirnya, maka memotong rambut dilakukan setelah mandi. Yang dipotong adalah rambut, bukan jenggotnya laki-laki karena hal tersebut tidak disunnahkan. Seseorang berniat mandi sesuai sebabnya ( seperti dalam hal ini sebab masuk Islam) seperti mandi-mandi sunah yang lain  sampai  mandinya orang gila dan orang epilepsi ketika sembuh. Keduanya berniat mandi untuk menghilangkan janabah.

 

 وَلَا فَرْقَ فِى ذَلِكَ بَيْنَ الْبَالِغِ وَغَيْرِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ هَذَا (اِنْ) لَمْ يَحْتَمِلْ وُقُوعُ مَا يُوْجِبُ الْغُسْلَ بِأَنْ (لَمْ يَجْنُبْ فِى كُفْرِهِ اَمْ لَمْ تَحِضِ الْكَافِرَةُ) فِى كُفْرِهَا (وَاِلَّا) فيَضُمُّ نَدْبًا اِلَى هَذِهِ النَّيَّةِ نِيَّةَ رَفْعِ ذَلِكَ أَمَّا اِذَا تَحَقَّقَ وُقُوْعُهُ مِنَ الْكَافِرِ قَبْلَ الْاِسْلَامِ فَقَدْ (وَجَبَ الْغُسْلُ بَعْدَ الْاِسْلَامِ فِى الْاَصَحِّ) وَاِنِ اغْتَسَلَ فِى كُفْرِهِ لِاَنَّهُ لَا عِبْرَةَ بِالْغُسْلِ فِى الْكُفْرِ لِبُطَلَانِ نِيَّةِ الْكَافِرِ فَيَجْتَمِعُ عَلَيْهِ غُسْلَانِ مَنْدُوْبٌ وَوَاجِبٌ

Menurut qoul mu’tamad, tidak terdapat perbedaan antara orang yang baligh dan yang belum baligh dalam hal tersebut. Kesunnahan mandi ini berlaku apabila tidak ada hal yang mewajibkan mandi. Contoh kasusnya adalah apabila seorang kafir tidak junub selama masa kafirnya atau seorang perempuan kafir yang tidak haid semasa kafirnya. Jika mengalami junub, maka orang kafir tersebut mengumpulkan niat sunnah dan wajib. Adapun jika terdeteksi junub sebelum islam maka wajib mandi setelah masuk Islam menurut qoul ashohh. Apabila seorang kafir mandi semasa kafirnya maka mandinya tidak dianggap sah dalam keadaan kafir. Hal ini karena batalnya niat seorang kafir[5]. Maka hendaknya bagi kafir untuk mengumpulkan dua mandi sekaligus, yaitu mandi sunnah dan wajib.

 

 فَلَا بُدَّ مِنْ نِيَّتِهِمَا لِاَنَّهُ لَا تَكْفِى نِيَّةُ الْوَاجِبِ عَنِ الْمَنْدُوْبِ وَلَا عَكْسُهُ اِذْ لَوْ نُوِيَ اَحَدُهُمَا حَصَلَ فَقَطْ وَيَفُوْتُ الْمَنْدُوْبُ بِطُوْلِ الزَّمَنِ أَوِ الْأَعْرَاضِ عَنْهُ لَا بِالْجَنَابَةِ (وَقِيْلَ يَسْقُطُ) أَىْ وُجُوْبُ الْغُسْلِ (اِذَا أَسْلَمَ) لِاَنَّ الْاِسْلَامَ يُهْدِمُ مَا قَبْلَهُ وَهَذَا ضَعِيْفٌ قَالَ ابْنُ قَاسِمَ وَكَأَنَّ الْفَارِقَ بَيْنَ الْغُسْلِ وَ الصَّلَاةِ حَيْثُ سَقَطَتْ عَنِ الْكَافِرِ دُوْنَهُ قِلَّةُ الْمَشَقَّةِ فِيْهِ لِعَدَمِ تَعَدُّدِهِ

Wajib hukumnya niat sunnah dan wajib sekaligus, karena tidak cukup berniat  wajib saja, atau sunnah saja. Karena apabila orang tersebut hanya berniat salah satunya (sunnah atau wajib) maka yang dihitung hanya salah satu yang diniatkan. Kesunahan gugur sebab waktu yang lama atau terbengkalainya sunnah (i’rodh), dan tidak gugur sebab janabah. Ada qoul lain yang mengatakan kewajiban mandi gugur ketika masuk Islam. Alasannya, sesungguhnya Islam membersihkan dosa-dosa sebelum masuk Islam[6]. Dan qoul ini lemah. Ibnu Qosim menyampaikan bahwa seakan-akan perbedaan antara wajib mandi dan tidak diqodho’nya sholat itu karena mandi sekali lebih ringan (tidak kesulitan) daripada qodho’ sholat bagi orang kafir yang telah masuk Islam.

 

 (وَ) التَّاسِعُ الْغُسْلُ مِنَ (الْمَجْنُوْنِ) وَاِنْ تَقَطَّعَ جُنُوْنُهُ (وَالْمُغْمَى عَلَيْهِ) وَلَوْ لَحْظَةً (اِذَا أَفَاقَا وَلَمْ يَتَحَقَّقْ مِنْهُمَا اِنْزَالٌ) اَوْ نَحْوُهُ بِمَا يُوْجِبُ الْغُسْلَ (فَإِنْ تَحَقَّقْ مِنْهُمَا اِنْزَالٌ وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمَا) مَعَ الْغُسْلِ الْمَسْنُوْنِ فَيَجْتَمِعُ لِكُلٍّ مِنْهُمَا غُسْلَانِ غُسْلٌ لِلْجَنَابَةِ وَغُسْلٌ لِلْاِفَاقَةِ اَوْ يَنْوِيْهُمَا مَعًا

Poin yang kesembilan adalah mandinya orang gila – meskipun gilanya putus-putus – dan orang epilepsi ketika keduanya sembuh dan tidak terdeteksi keluarnya mani atau hal-hal yang mewajibkan mandi.  Apabila terdeteksi keluar mani (inzal) maka bagi mereka wajib mandi, bersama dengan mandi yang disunnahkan. Maka ada dua mandi bagi mereka yaitu mandi wajib sebab janabah dan mandi sunnah sebab kesembuhan, atau niat sunnah dan wajib secara bersamaan.

 

 وَيُطْلَبُ الْغُسْلُ مِنْهُمَا بَعْدَ كُلِّ اِفَاقَةٍ لمِاَ رَوَى الشَّيْخَانِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُغْمَى عَلَيْهِ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ فَإِذَا اَفَاقَ اغْتَسَلَ وَقِيْسَ الْمَجْنُوْنُ بِالْمُغْمَى عَلَيْهِ بَلْ أَوْلَى لِاَنَّهُ مَظَنَّةٌ لِاِنْزَالِ الْمَنِي وَيَفُوْتُ هَذَا الْغُسْلُ بِالْاِعْرَاضِ وَبِعُرُوْضِ مَا يُوْجِبُ الْغُسْلَ ويَنْوِيَانِ رَفْعَ الْجَنَابَةِ لِاَنَّ غُسْلَهُمَا لِاحْتِمَالِهَا ويُجْزِئُهُمَا بِتَقْدِيْرِ وُجُوْدِهَا مَعَ عَدَمِ جَزْمِهِمَا بِالنِّيَّةِ الْاِحْتِيَاطُ اِذَا لَمْ يَتَبَيَّنِ الْحَالُ فَلَوْ تَبَيَّنَ بَعْدَ الْغُسْلِ طُرُوُّ مَا يُوْجِبُ الْغُسْلَ عَلَيْهِمَا لَمْ يُجْزِئْهُمَا الغُسْلُ السَّابِقُ لِعَدَمِ الْجَزْمِ بِوُجُوْدِ مُوْجِبِ الْغُسْلِ.

Anjuran mandi bagi orang gila dan orang epilepsi setelah mereka sembuh diambil dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Diriwayatkan dari Sayyidatina ‘Aisyah “Sesungguhnya Rasullah SAW sempat tidak sadarkan diri tatkala sakit menjelang wafatnya. Kemudian ketika Beliau sembuh, Beliau mandi”. Gila dianalogikan dengan epilepsi, bahkan lebih parah karena kemungkinan besar selama masa gila keluar mani. Kesunnahan mandi ini hilang sebab terbengkalainya sunnah (i’rodh) dan sebab munculnya hal-hal yang mewajibkan mandi. Keduanya berniat menghilangkan janabah dalam rangka berhati-hati (ihtiyath) ketika ragu, karena status keduanya menanggung janabah, dan mandi dianggap cukup dengan mengira-ngirakan wujud janabah serta keraguan keduanya dengan berniat menghilangkan janabah. Apabila tampak jelas ada hal-hal yang mewajibkan mandi setelah mandi, maka mandinya tidak cukup karena ragu-ragu dengan adanya hal-hal yang mewajibkan mandi.

 

والله اعلم بالصواب



[1] Alasan penulis menempatkan pembahasan mandi jumat dari yang lainya karena pendapat Imam Abu Hanifah yang menganggapnya wajib.

[2] Baik orang yang merdeka maupun seorang budak, baik sudah baligh maupun masih anak-anak. (Hasyiyah al Bajuri Juzz 1 halaman 79)

[3] Adanya kesunahan mandi setelah memandikan jenazah dikarenakan untuk mengembalikan stamina atau menghilangkan kelemahan badan orang yang memandikan. Ha ini karena dia telah mukholathoh/ banyak bersentuhan dengan jasad yang sudah tak bernyawa. Adapun wudhu sunnah bagi yang akan memikul jenazah dan bukan wajib. Imam Thohawy berkata: hikmahnya bahwa mubasyaroh dengan mayyit akan berefek melemahkan badan. Wudhu dan mandi akan kembali menyegarkannya. (Hasyiyah Buajiromi ‘alal Khotib)

[4] Berikut ini redaksi hadits dari Qois bin ‘Ashim

روى أبو داود والترمذي عن قاصم رضي الله عنه قال: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم أريد الاسلام, فأمرني أن اغتسل بماء وسِدرٍ وهو ورق مطحون من شجر معين (التذهيب ص 24)

[5] Syarat niat menurut Syeikh Abu Bakar bin Abi Qosim bin Ahmad bin Muhammad al Ahdali ada 4, yaitu: Islam, tamyiz, mengetahui hal yang diniati dan tidak adanya yang bertentangan dengan niat (munafi). (Mandhumah Faro’idhul Bahiyyah fil Qowaidil Fiqhiyyah halaman 16)

 

[6] Syeikh Ibrohim al Bajuri menambahkan komentar dalam kitab al Bajuri mengenai hal ini:

وقوله إذا أسلم اى لعموم قوله تعالى قل للذين كفروا ان ينتهوا يغفر لهم مما قد سلف ويرد استدلاله بذلك لانه عام مخصوص


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Realistis Itu Seperti Apa? | Dr. Fahruddin Faiz

Hidup Realistis Jauhi Beban Hidup 1. Konsep Self Reservation. Lestarikan dirimu, penuhi semua hobi kesenangan secukupnya.  2. He who lives i...

Most Viewed || Banyak Dilihat